Rumah Adat Penyimbang Saibatin_Gs

JL. Raya Kedondong, Desa Gunung Sugih, Pesawaran

SELAMAT DATANG DI PORTAL SAIBATIN.COM

Jumat, 11 Oktober 2019

Lampung saibatin & Bandakh Lima Way Lima

Kekayaan akan adat dan budaya di provinsi Lampung sangat terlihat dari keberagaman suku dan marga yang terdapat di Bumi Ruwai Jurai ini. Suku Lampung terbagi menjadi Lampung Saibatin dan Lampung Pepadung, didalamnya terbagi lagi menjadi beberapa wilayah adat.

Wilayah adat Lampung Saibatin sendiri terbagi Enom Belas Marga Krui (Pesisir Barat), Paksi Pak Sekala Brak (Lampung Barat), Bandar Enom Semaka (Tanggamus), Bandar Lima Way Lima (Pesawaran), Marga Lima Way Handak (Lampung Selatan), Melinting Tiyuh Pitu (Lampung Timur).

Hingga diluar Provinsi Lampung diantaranya Pitu Kepuhyangan Komering (Provinsi Sumatera Selatan), Telu Marga Ranau (Provinsi Sumatera Selatan) Cikoneng Pak Pekon (Provinsi Banten). Setiap wilayah adat, didalamnya juga terdapat beberapa kelompok masyarakat lagi dengan sebutan yang berbeda, ada yang dimanakan Marga, Kebandakhan/ Bandar, ataupun bahasa-bahasa yang lain.

Bandar Lima Way Lima
Untuk wilayah adat Bandar Lima Way Lima atau Marga Way Lima adalah salah satu Marga di Lampung yang beradat Saibatin dan termasuk Subsuku Lampung Peminggir Pemanggilan (Teluk Semaka Timur).


Wilayah Marga Way Lima membentang dari Gunung Terang Kecamatan Bulok (Tanggamus), Pardasuka (Pringsewu), Kedondong, Way lima sampai Suka Marga Kecamatan Gedong Tataan (Pesawaran).

Nama Way Lima ditetapkan oleh pemerintahan kolonial Belanda saat membentuk Kemargaan di wilayah ini sekitar tahun 1930 merujuk dari nama lima Way (sungai) yang tidak surut walaupun kemarau panjang yakni Way Bulok, Way Mincang, Way Kedondong, Way Tabak Dan Way Awi.

Nenek moyang Lampung Saibati Bandar Lima Way Lima dipercaya berasal dari Kerajaan Sekala Brak Kuno yang dikenal dengan Suku Tumi. Pendapat ini erat kaitannya dengan kedatangan empat putra Raja Pagaruyung yang menyebarkan agama Islam dan menaklukan Kerajaan Sekala Brak kuno.

Dalam novel Perempuan Penunggang Harimau, M. Harya Ramdhoni menyebut Kerajaan Sekala Brak kuno ini terakhir dipimpin oleh seorang ratu bernama Umpu Sekekhummong atau Ratu Sekerumong yang memiliki satu putra bernama Pangeran Kekuk Suik dan satu putri bernama Dalom Umpu Sindi.

Setelah menaklukan Kerajaan Sekala Brak yang masih menganut agama Hindu itu, empat pangeran Raja Pagaruyung yang belakangan mendirikan Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak berhasil mengislamkan Suku Tumi kecuali Pangeran Kekuk Suik dan pengikutnya yang melarikan diri ke arah pesisir.

Di pesisir, Kekuk Suik bersama pengikutnya menempati wilayah Pedada, laay, Way Sindi, Bandar Krui dan Tenumbang yang masuk dalam wilayah Enom Belas Marga Krui yang masih ada hingga saat ini. Kisah ini juga seturut dengan yang dipercaya oleh masyarakat Krui, Pesisir Barat.

Karena daerah Krui beberapa kali di serang oleh Bajak Laut (Bajau/Lanum) yang datang dari arah Barat (Lautan) dan Utara (Palembang), maka sebagian pengikut Kekuk Suik memilih pindah ke Teluk Semaka terutama Sekitar Kota Agung bagian Timur sampai daerah Cukuh Balak sekarang.

Menurut riwayatnya, sebagian mereka yang migrasi ini meneruskan perjalanan dari Cukuh Balak ke Teluk Lampung, Way Handak (Lampung Selatan) mendirikan Marga Lima Way Handak dan Labuhan Maringgai (Lampung Timur) mendirikan Melinting Tiyuh Pitu.

Pengikut Kekuk Suik yang menetap di Teluk Semaka ini memiliki lima kelompok yang mendirikan kepunyimbangan adat Saibatin di daerah Cukuh Balak yang dikenal dengan Bandakh Lima atau Bandar Lima diantaranya Seputih, Sebadak, Selimau, Sepertiwi dan Sekelumbayan.

12 Kebuayan Bandar Lima
Masing-masing dari lima Bandar tersebut juga memiliki beberapa Buay atau kelompok keturunan berdasarkan asalnya. Namun diantara semua Buay memiliki hubungan yang tak terpisahkan yakni dari Suku Tumi.


Bandar Seputih memiliki lima Buay keturunan Suku Tumi, SEMENGUK HULU LUTUNG cucu dari SANGHYANG SAKTI NYATA. Buay di Seputih diantaranya Buay Mukhadatu/Mikhadatu, Buay Tambakukha, Buay Hulu Dalung, Buay Hulu Lutung, dan Buay Pemuka.

Bandar Sebadak hanya memiliki satu Buay yakni Buay Tengklek yang merupakan keturunan Marga Wai Sindi (Ulok Pandan) dari Enom Belas Marga Krui. Marga Wai Sindi juga disebut menjadi salah satu tempat tinggal KEKUK SUIK dan pengikutnya dari Suku Tumi saat melarikan diri ke pesisir Krui.

Bandar Selimau, merupakan keturunan tiga saudara keturunan keratuan Pugung yaitu BUJANG RINGKEH gelar KAKHAI HANDAK juga keturunan RATU DI KUALA SAKHA bin SANGHYANG SAKTI NYATA. Di Selimau terdapat tiga Buay yaitu Buay Tungau, Buay Khandau Dan Buay Babok.

Bandar Sepertiwi, terdapat satu Buay yaitu Buay Sakha. Tidak terdapat keterangan yang pasti asal-usul Buay ini. Kemungkinan berkaitan dengan keturunan RATU DI KUALA SAKHA paman SEMENGUK HULU LUTUNG yang nenurunkan Bandar Seputih.

Bandar Sekelumbayan memiliki dua Buay yakni Buay Benawang (BENAWANG merupakan suami RATU SEKERUMONG) dan Buay Gagili (disebutkan berasal dari Keratuan Balau saat itu masih di Way Balau Krui sebelum pindah ke wilayah teluk Lampung sekarang termasuk wilayah Tiyuh Kedamaian).

Keratuan Balau didirikan oleh RADIN KUNYAYAN dari Kerjaan Sekala Brak (Suku Tumi) bersama istrinya yang bernama PUTRI KUNING yang merupakan putri RAJA MAS UNANG DALOM, anak kedua KAKHAI HANDAK.

Dalam versi lain, Keratuan Balau ini didirikan oleh keturunan SEMENGUK HULU LUTUNG dari MANDULIKA yang bernama RADIN SAKA di Way Balau Krui. RADIN SAKA ini memiliki istri bernama PUTRI BUNGSU RATU LIBA HAJI anak bungsu dari KAKHAI HANDAK.

Pergeseran Kemajuan
Kedatangan kelompok buay-buay itu juga tidak datang bersamaan, tetapi secara bertahap sehingga kebandarannya terdapat dua, yakni Bandakh Unggak (Hulu) dan Bandakh Doh (Hilir).


Sebagian besar keturunan Bandar Unggak banyak membuka daerah di pedalaman menjauhi pesisir laut, sehingga daerah-daerah yang baru tersebut menjadi cikal-bakal daerah yang sekarang dinamakan Way Lima, Gunung Alif dan Talang Padang.
Peristiwa Gunung krakatau meletus Tahun 1883 juga memaksa sebagian besar masyarakat pesisir pindah ke daerah yang telah di rintis itu. Selain itu juga pemerintah kolonial Belanda membangun jalan raya yang menghubungkan Teluk Betung dan Kota Agung.

Maka daerah yang baru tersebut justru semakin banyak penduduknya dan lebih berkembang di bandingkan daerah di pesisir pantai di Teluk Semaka bagian Timur.


SELAMAT KHATONG DI JENGANAN LAMBAN BALAK