Rumah Adat Penyimbang Saibatin_Gs

JL. Raya Kedondong, Desa Gunung Sugih, Pesawaran

SELAMAT DATANG DI PORTAL SAIBATIN.COM

Jumat, 12 Oktober 2018

Asal Muasal LAMPUNG

Mereka membawa berbagai kebudayaan antara lain falsafah/ajaran Buddha dan aksara/tulisan kaganga. Khusus di Lampung sekarang dikenal dengan tulisan Lampung karena pada zaman modern ini Lampunglah yang lebih dulu mengangkat aksara kaganga tersebut. Di Sumatera bagian selatan, khususnya di Sumatera Selatan, aksara kaganga dikenal dengan nama tulisan ulu dalam wilayah pedalaman Batanghari Sembilan di Jambi, dikenal dengan nama tulisan encong, di Aceh dengan tulisan rencong, di Sumatera Utara/Batak dengan tulisan pustaha/tapanuli.

Di wilayah kepulauan nusantara ini yang memakai tulisan kaganga hanya di Pulau Sumatera dan Sulawesi (ada 22 wilayah) dan di luar wilayah tersebut memakai tulisan/aksara pallawa/hanacaraka yang berasal dari India sesudah masuk abad Masehi bersama dengan ajaran/falsafah Hindu, yang kemudian hari berkembang di Pulau Nusa Kendeng/Pulau Jawa sekarang dan Bali. Di pusat Kerajaan Saka/Aji Sai, raja-rajanya adalah titisan penjelmaan Naga Sakti/Nabi Khaidir a.s., dalam rangka mengemban tugas Tuhan Yang Maha Esa dengan menurunkan hukum inti Ketuhanan (falsafah Jaya Sempurna) sepanjang zaman. Di Pagar Alam Lahat, tepatnya di antara perbatasan 3 provinsi; Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu lokasi tersebut sampai saat ini belum terungkap dan masih merupakan misteri bagi bangsa Indonesia. Untuk mengungkapnya perlu dipelajari tulisannya, yaitu kaganga atau pallawa (hanacaraka).


Asal Nama Sumatera

Dalam catatan sejarah yang ada hingga saat ini, Pulau Sumatera ini ditemukan Angkatan Laut Kerajaan Rau (Rao) di India yang bernama Sri Nuruddin Arya Passatan tahun 10 Saka/88 Masehi yang tercantum dalam Surat Peninggalan pada Bilah Bambu tahun 50 Saka/128 M yang ditandatangani Ariya Saka Sepadi, bukan Sri Nuruddin Angkatan Pertama yang datang dari Kerajaan Rao di India.

Karena tidak ada kabar beritanya angkatan pertama, dikirim angkatan kedua yang dipimpin langsung Putra Mahkota Kerajaan Rao di India Y.M. Sri Mapuli Dewa Atung Bungsu tahun 101 Saka/179 Masehi. Dengan 7 armada (kapal), mereka berlabuh di daratan Sumatera tepatnya di Pulau Seguntang atau Bukit Seguntang sekarang di Palembang, Y.M. Sri Mapuli Atung Bungsu memerintahkan Arya Tabing, nakhoda kepal penjalang untuk mendirikan pondokan dan menera (menimbang) semua sungai yang berada di wilayah Pulau Seguntang tersebut. Demi mengikuti amanat Ayahanda Kerajaan Rao di India, berganti-ganti air sungai ditera (ditimbang) Arya Tabing atas titah Y.M. Sri Mapuli Dewa Atung Bungsu, sebelum Arya Tabing menimbang semua air sungai, beliau bertanya kepada YM, sungai mana yang harus ditera (ditimbang), dijawab YM, semua Tera (yang maksudnya semua air sungai yang ada ditimbang). Dari kata-kata beliau itulah asal nama Sumatera hingga saat ini yang tercatat dalam surat lempengan emas tahun 10 Saka/88 Masehi serta surat dari bilah bambu pada tahun 101 Saka/179 Masehi yang sampai saat ini belum ditemukan bangsa Indonesia, dan berkemungkinan sekali bertuliskan/aksara kaganga atau pallawa/hanacaraka di wilayah Sumetera bagian selatan. Setelah ditimbang angkatan Arya Tabing, didapatlah air sungai/Ayik Besemah dari dataran tinggi Bukitraja Mahendra Mahendra (Bukit Raje Bendare) mengalir ke barat dan bermuara di Sungai Lematang wilayah Kota Pagar Alam (Lahat).


Sejarah Adat

Adat pepadun sai batin terbentuk pada abad ke-17 tahun 1648 M oleh empat kelompok/buay, yaitu Buay Unyai di Sungai Abung, Buay Unyi di Gunungsugih, Buay Uban di Sungai Batanghari dan Buay Ubin (Subing) di Sungai Terbanggi, Labuhan Maringgai. Adat pepadun sai batin ini masih ada pengaruh dari Hindu dan Buddha Putri Bulan tidak dikenal keempat peserta sidang (empat buay) yang merupakan utusan kelompok masing-masing wilayah. Sangaji Mailahi menjawab akan membentuk adat.

Keempat bersaudara dari 4 buay tersebut merasa sangat tertarik melihat Putri Bulan adik angkatnya Sangaji Malihi, sehingga rapat/sidang ditunda sejenak karena terjadi keributan di antara mereka. Untuk mengatasi keributan itu, Sangaji Malihi memutuskan Putri Bulan dijadikan adik angkat dari mereka berempat. Setelah meninggalkan daerah Goa Abung, mereka menyebarkan adat ke daerah pedalaman Lampung sekarang. Buay Unyai pada puluhan tahun kemudian hanya mengetahui sidang adat pepadun sai batin diadakan di daerah Buay Unyai dan sebagai Raja Adat, Raja Hukum, Raja Basa (Bahasa) adalah Sangaji Malihi yang kemudian hari dijuluki masyarakat sebagai Ratu Adil. Buay Bulan (Mega Pak Tulangbawang) pada permulaan abad ke-17 Putri Bulan bersuamikan Minak Sangaji dari Bugis yang julukannya diambil dari kakak angkatnya Sangaji Malihi (Ratu Adil).

Empu Riyo adalah keturunan Buay Bulan di Buay Aji Tulangbawang Tengah dan Makam Minak Sangaji dan Putri Bulan ada di belakang Kecamatan Tulangbawang Tengah dan Makam Minak Sangaji dan Putri Bulan di Buay Aji Tulangbawang Menggala (sekarang). Di antara keturunan Raja Jungut/Kenali Pesagi keturunan Buay Bulan ada di Kayu Agung, keturunan Abung Bunga Mayang dari Mokudum Mutor marga Abung Barat sekarang.

Jadi adat pepadun sai batin merupakan satu kesatuan (two in one) yang tidak terpisahkan satu sama lainnya karena arti/makna dari pada kata atau kalimat pepadun sai batin adalah pepadun = musyawarah/mufakat, dan sai batin = bersatu/bersama. Jadi kata pepadun sai batin adalah musyawarah mufakat untuk bersama bersatu.

Dan kemudian hari sejarah adat pepadun sai batin terbagi menjadi 2 kelompok/jurai, yaitu Lampung sai = pepadun dan aji sai = sai batin, yang kemudian kita kenal sebagai lambang Sang Bumi Ruwa Jurai (pepadun sai batin). Fakta/bukti autentik piagam logam tahun 1652 Saka/1115 H atau tahun 1703 M yang bertuliskan Arab gundul dan aksara pallawa/hanacaraka msh ada sampai sekarang. Jadi adat pepadun sai batin itu berarti musyawarah mufakat untuk bersatu/bersama dalam pembentukan Adat.

Pepadun = Musyawarah/mufakat
Sai batin = Bersatu/bersama
Lampung sai = Kita bersatu/mereka bersatu
Aji sai = Saya satu/ini satuSang Bumi Ruwa Jurai = pepadun saibatin (satu kalimat) musyawarah untuk bersatu.
Pada abad ke VII orang di negeri Cina sudah membicarakan suatu wilayah didaerah Selatan ( Namphang) dimana terdapat kerajaan yang disebut Tolang P‘ohwang, To berarti orang dan Lang P‘ohwang adalah Lampung.

Terdapat bukti kuat bahwa Lampung merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Jambi dan menguasai sebagian wilayah Asia Tenggara termasuk Lampung dan berjaya hingga abad ke-11. Sriwijaya datang ke Lampung karena daerah ini dulunya merupakan sumber emas dan damar.

Peninggalan yang menunjukkan bahwa Lampung berada dibawah pengaruh Kerajaan Sriwijaya antara lain dengan ditemukannya prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Batu Bedil didaerah Tenggamus merupakan peninggalan kerajaan seriwijaya (abad VIII). Kerajaan-kerajaan Tulang Bawang dan Skala Brak juga pernah berdiri pada sekitar abad VII-VIII. Pusat Kerajaan Tulang Bawang diperkirakan disekitar Menggala/Sungai Tulang Bawang sampai Pagar Dewa.

Zaman Islam ditandai masuknya Banten diLampung pada abad ke 16, terutama saat bertahtanya Sultan Hasanuddin (1522-1570). Sejak masa lampau, Lampung memang dikenal karena tanaman ladanya yang banyak dicari orang. Kesultanan Banten yang tertarik dengan produksi lada Lampung mengusai daerah ini pada awal abad ke-16 dan sekaligius memperkenalkan agama Islam.

Pada zaman ini Lampung melahirkan pahlawan yang terkenal gigih menantang Belanda. Bernama Radin Intan. Pengaruh Islam terlihat diantaranya dan adanya Tambra Prasasti (Buk Dalung) didaerah Bojong Kecamatan Jabung Sekarang, berisi perjanjian kerjasama antara Banten dan Lampung dalam melawan penjajahan Belanda.

Kontrol yang dilakukan Kesultanan Banten atas produksi lada Lampung telah menjadikan pelabuhan Banten sebagai pelabuhan lada yang paling besar dan paling makmur di Nusantara. Tanaman lada pula yang juga menarik kaum pendatang asing dari Eropa seperti perusahaan dagang dari Belanda ‘Dutch East India Company’.

Perusahaan dagang ini pada akhir abad ke-17 membangun sebuah pabrik pengolahan di Menggala. Namun dengan berbagai upaya akhirnya Belanda berhasil menguasai Lampung pada tahun 1856.

Pemerintah kolonial Belanda untuk pertama kalinya memperkenalkan program transmigrasi kepada penduduk di Pulau Jawa yang sangat padat untuk pindah dan berusaha di Lampung. Program transmigrasi ini ternyata cukup diterima baik dan banyak penduduk asal Pulau Jawa yang kemudian pindah ke lokasi transmigrasi yang berada di kawasan timur Lampung.

Program transmigrasi ini kemudian ditingkatkan lagi pada masa kemerdekaan pada tahun 1960-an dan 1970- an. Orang asal Pulau Jawa ini membawa serta perangkat kebudayaan mereka ke Lampung seperti gamelan dan wayang. Orang dari Pulau Bali kemudian juga datang ke Lampung untuk mengikuti program transmigrasi ini. Kehadiran pendatang dari daerah lain di Lampung telah menjadikan wilayah ini sebagai daerah dengan kebudayaan yang beragam (multi-kultur).

Keragaman suku yang ada justru menjadi daya tarik wisata apalagi di berbagai kabupaten yang ada tersebar potensi wisata alam, wisata budaya. Keberadaan sanggar-sanggar seni/budaya sebagai pelestari seni/budaya warisan nenek moyang banyak berkembang.

Catatan sejarah dari berbagai sumber ada yang menyebut tentang Tulang Bawang. Catatan ini tentunya berkaitan erat dengan Menggala. Catatan Tomé Pires (1512 – 1515), menyebutkan bahwa di Jawa Barat pernah berdiri suatu kerajaan yang disebut regño de Çumda atau kerajaan Sunda. Kerajaan ini mempunyai beberapa pelabuhan dagang di sepanjang pantai utara.

Hubungan dagang kerajaan Sunda tidak hanya bersifat lokal tetapi sampai tingkat regional bahkan internasional. Beberapa barang dagangan dari Tulang Bawang seperti lada masuk ke Jawa melalui pelabuhan Cheguide (Cortesão, 1967: 171). Dalam catatan ini jelas-jelas tersurat bahwa antara Sunda dan Tulang Bawang pernah menjalin hubungan dagang terutama lada. Pada suatu masa Kerajaan Sunda mengalami kemunduran. Kedudukan dan peranan Kerajaan Sunda kemudian digantikan Banten.

Keberadaan Tulang Bawang, dalam berbagai referensi, mengacu pada kronik perjalanan pendeta Tiongkok, I Tsing. Disebutkan kisah pengelana dari Tiongkok, I Tsing (635-713). Seorang biksu yang berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti Tang) ke India, dan kembali lagi ke Tiongkok. Ia tinggal di Kuil Xi Ming dan beberapa waktu pernah tingal di Chang’an. Ia menerjemahkan kitab agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina.

Dalam perjalanannya itu, kronik menulis I Tsing singgah di Sriwijaya pada tahun 671. Ia mengunjungi pusat-pusat studi agama Budha di Sumatera, di antaranya selama dua bulan di Jambi dan setelah itu konon tinggal selama 10 tahun di Sriwijaya (685-695). Dalam perjalanannya itu, I Tsing dikabarkan menyebut nama suatu tempat dengan “To Lang P’ohwang”. Kata “To Lang P’ohwang” merupakan bahasa Hokian, bahasa yang digunakan I Tsing.

Ada yang menerjemahkan “To Lang P’ohwang” sebagai Tulang Bawang. Salah satunya adalah Prof. Hilman Hadikusuma, ahli hukum adat dan budayawan Lampung tersebut memberi uraian perihal sejarah Lampung, khususnya dalam menafsir To Lang P’ohwang sebagai Kerajaan Tulang Bawang.

Dalam situs melayuonline.com, disebutkan : Kerajaan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Nusantara. Tidak banyak catatan sejarah yang mengungkap fakta tentang kerajaan ini. Sebab, ketika Che-Li-P’o Chie (Kerajaan Sriwijaya) berkembang, nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang justru pudar.

Menurut catatan Tiongkok kuno, sekitar pertengahan abad ke-4 pernah ada seorang Bhiksu dan peziarah bernama Fa-Hien (337-422), ketika melakukan pelayaran ke India dan Srilangka, terdampar dan pernah singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang P’o-Hwang (Tulang Bawang), tepatnya dipedalaman Chrqse (Sumatera).

Sumber lain menyebutkan bahwa ada seorang pujangga Tiongkok bernama I-Tsing yang pernah singgah di Swarna Dwipa (Sumatera). Tempat yang disinggahinya ternyata merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Ketika itu, ia sempat melihat daerah bernama Selapon. Ia kemudian memberi nama daerah itu dengan istilah Tola P’ohwang. Sebutan Tola P’ohwang diambil dari ejaan Sela-pun.

Untuk mengejanya, kata ini di lidah sang pujangga menjadi berbunyi so-la-po-un. Orang China umumnya berasal
dari daerah Ke’. I-Tsing, yang merupakan pendatang dari China Tartar dan lidahnya tidak bisa menyebutkan So, maka ejaan yang familiar baginya adalah To. Sehingga, kata solapun atau selapon disebutkan dengan sebutan Tola P’ohwang. Lama kelamaan, sebutan itu menjadi Tolang Powang atau kemudian menjadi Tulang Bawang.

Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Pada masa kekuasaan Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat. Orang Melayu yang tidak dapat menerima ajaran tersebut, sehingga mereka kemudian menyingkir ke Skala Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu yang menetap di Megalo dengan menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih
eksis. Pada abad ke-7, nama Tola P’ohwang diberi nama lain, yaitu Selampung, yang kemudian dikenal dengan nama Lampung.

Tulang Bawang yang beribukota Menggala merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung, yang sebagian wilayahnya dilalui oleh jalan Lintas Timur Sumatera, sehingga merupakan salah satu alternative bagi kendaraan/ pengguna jalan yang akan menuju Propinsi/ Kota-Kota lainnya ke bagian utara Pulau Sumatera.

Dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung menjadi perhatian pengguna jalan yang melintasi Kabupaten ini. Pada masa sebelum kemerdekaan kota Menggala disebut sebagai “Paris Van Lampung” karena menurut peta sejarah kebudayaan dan perdagangan di Nusantara, menggambarkan Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia, di samping Kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai dan Tarumanegara.

Meskipun belum banyak catatan sejarah yang mengungkapkan keberadaan kerajaan ini, namun catatan Cina Kuno menyebutkan pada pertengahan abad ke-4, seorang peziarah Agama Budha yang bernama Fa-Hien, pernah singgah di sebuah kerajaan yang makmur dan berjaya To-Lang Po-Hwang (Tulang Bawang) di pedalaman Chrqse (Pulau Emas Sumatera).

Samnpai saat ini belum ada yang dapat memastikan pusat kerajaan Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. J.W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang (antara Menggala dan Pagar Dewa) sekitar 30 km dari Pusat Kota Menggala. Karena Menggala (juga Pagar Dewa) merupakan salah satu kota tertua di Propinsi Lampung, maka sejak dahulu seni dan budayanya sudah berkembang.

Selain karena Tulang Bawang banyak wilayahnya merupakan daerah rawa pasang surut, maka potensi objek wisata yang indah pun cukup banyak. Apalagi ulang Bawang dilalui oleh sungai terbesar di Propinsi Lampung yaitu Way Tulang Bawang, yang tentu saja menyimpan banyak potensi Sumber Daya Alam untuk dikembangkan, termasuk pariwisata.

Pengembangan pariwisata merupakan salah satu andalan pembangunan di Indonesia pada umumnya dengan kondisi Negara Indonesia yang sangat kaya dengan objek wisata karena keragaman budaya dan keindahan alamnya. Potensi setiap wisata yang ada di setiap daerah dan pelosok termasuk di Kabupaten Tulang Bawang, memberikan peluang untuk peningkatan pariwisata baik dari segi kuantitas maupun kualitas agar dapat menjaga sifat keandalannya yang belum nampak konstribusinya pada masalah peningkatan fungsi dan peran kepariwisataan pada pengembangan daerah.

Way Tulang Bawang Way Tulang Bawang adalah sungai paling tenbesar di Propinsi Lampung dengan lebar sekitar 200 m yang melintasi Kota Menggala. Selain dapat dijadikan sebagai objek wisata petualangan, berkemah, memancing dan aktivitas wisata lainnya, saat ini masih banyak juga masyarakat yang mendiami beberapa bagian sungai ini, baik untuk tempat tinggal maupun sebagai tempat mencari nafkah dengan memasang keramba ikan di sekitar Way Tulang Bawang ini.

Untuk pengembangan di masa yang akan dating, Way Tulang Bawang dapat dijadikan sebagai arena olah raga rutin tahunan misalnya : lomba perahu hias, lomba dayung dan memancing, selain itu dapat pula dibangun rumah makan terapung dan pusat penjualan makanan khas seerta souvenir Tulang Bawang.

Daerah Alami Rawa Tulang Bawang BUJUNG TENUK Kawasan rawa Bujung Tenuk di kota Menggala merupakan daerah rawa pasang surut yang menjadi tampungan air di musim hujan secara alami, sehingga pada musim hujan terlihat seperti danau yang sangat luas dan tentu saja pemandangannya sangat indah untuk dinikmati sekaligus menjadi ekowisata, sedangkan pada musim kemarau kawasan ini menjadi padang luas yang dilalui berbagai jenis burung (bahkan langka) dan dapat dijadikan arena bermain serta menggembalakan hewan ternak.

Program jangka panjang Pemerintah Kabupaten ulang Bawang akan mengembangkan kawasan ini menjadi objek wisaa petualangan, ekowisata, berkemah, mencari jejak, memancing, agrowisata, farm and rural tourism, wisata sejarah, wisata budaya, dan wisata agama, sehingga masyarakat/ wisatawan kelak akan dijadikan Bujung Tenuk sebagai salah satu daerah tujuan wisata (DTW) di Propinsi Lampung.

Karena Bujung Tenuk terletak di jalan raya Lintas Timur Sumatera dan sebagian terletak di jalan Lintas Asia, maka bagi pengguna jalan yang akan menuju ke bagian utara Pulau Sumatera dan melalui jalan tersebut, pasti akan melintasi kawasan Bujung Tenuk ini. BAWANG LATAK Kawasan potensi objek wisata ini, dilalui oleh jalan raya Lintas Asia dan saat musim hujan airnya merata dengan rawa Bujung Tenuk, sehingga akan nampak seperti danau yang sangat luas dengan pemandangan yang indah dan beraneka flora langka yang pada saat/ bulan tertentu akan muncul di kawasan ini.

Bawang Talak saat ini sering dikunjungi oleh masyarakat baik individu, kelompok kecil maupun kelompok besar (keluarga) untuk sekedar berekreasi menikmati indahnya pemandangan, makan bersama, memancing dan berperahu. Program jangka panjangakan dikembangkan menjadi kawasan wisata terpadu dengan Bujung Tenuk. RAWA PITU Salah satu areal konservasi di Kabupaten Tulang Bawang adalah Rawa Pitu yang terletak di Kecamatan Gunung Aji. Di sini terdapat berbagai tipe vegetasi tropis dan hewan tropis serta ratusan species burung yang berimigrasi antar benua.

Sangat cocok untuk berwisata sambil mengadakan penelitian ilmiah. RAWA PANCING Rawa Pancing tereletak di Kecamatan Banjar Agung, merupakan lahan basah dengan luas sekitar 12.000 Ha, selain pemandangannya indah, Pacing juga kaya akan keragaman flora dan faunanya yang langka dan dilindungi. Wisatawan dapat menikmati alam dengan berjalan kaki, berkemah, berperahu, menjelajah dan aktivias wisata lainnya.

Danau Wirabangun & Bawang Lambu Bawang Lambu Bawang Lambu terletak di Kecamatan Pagar Dewa sekitar satu jam dari Kota Menggala adalah sebuah danau yang selain memiliki pemandangan indah (flora), juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai mata pencaharian nelayan untuk mencari ikan, di danau ini pula terdapat 2 (dua) makam yang dianggap keramat oleh masyarakat sekitar, yaitu makam Menak Makdum dan Menak Melako yang konon menurut sejarah adalah kakak beradik dan merupakan keturunan Menak Indah (Tuan Rio Sanak) dari Panaragan.

Selain itu pula terdapat beraneka ragam satwa burung dan ada seekor buaya yang dianggap keramat oleh masyarakat sekitar danau yang saat ini dipelihara oleh seorang warga setempat. Di Bawang Lambu ini aktivitas wisata yang dapat dilakukan adalah memancing, berperahu, berkemah, wisata petualangan, outbond, mencari jejak, menikmati pemandangan indah, dan beraneka jenis burung langka.

Makam Minak Pati Prajurit Menurut sejarah, Tulang Bawang merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia, karena pada pertengahan abad ke-4 seorang peziarah agama Budha yang bernama Fa-Hein, pernah singgah di sebuah kerajaan yang makmur dan berjaya, yaiu To-Lang Po-Hwang (Tulang Bawang).

Dengan demikian sejak zaman dahulu kisah perlawanan masyarakat Tulang Bawang terhadap pendatang yang ingin menjajah, sudah ada sejak zaman itu, sehingga banyak pahlawan-pahlawan yang pada zaman itu gugur dan sampai saat ini ada beberapa makamnya btersebar di wilayah Tulang Bawang yang masih dapat dilihat. Karena ada masyarakat yang menganggap makam tersebut keramat, tak jarang pada saat-saat tertentu mereka mengunjungi makam, baik hanya untuk sekedar ziarah maupun untuk “kepentingan khusus”.

Makam-makam yang sering dikunjungi diantaranya: Minak Patih Prajurit di Pagar Dewa, Minak Ngegulung di Tiuh Toho, Minak Sengaji di Menggala dan makam-makam lain yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat. Kuala Teladas Di Kuala Teladas bukan hanya terdapat pekampungan masyarakat di atas air, namun mereka juga memanfaatkan sungai sebagai tempat keramba ikan local yang hasilnya bukan hanya dipasarkan keluar Tulang Bawang, melainkan keluar Lampung, seperti : ikan Baung, Patin, Gabus dan jenis ikan lainnya. Wisatawan dapat menikmati River Tour serta Farm and Rural Tourism.
SELAMAT KHATONG DI JENGANAN LAMBAN BALAK